Kamis, 02 Januari 2014

Buah Karyaku


Komitmen?
Karya: Isnainy Muji S

Aku adalah wanita paling bahagia di dunia. Dicintai dan mencintai seorang yang aku dambakan. Rasanya itu seperti terbang tinggi ke angkasa luas, menari-nari di kelilingi bintang, uhh sempurna sekali hidupku. Ku jalani hidupku dengan suka cita. Mengalir indah bagaikan sungai yang jernih di surga. Ku langkahkan kaki dengan pasti, sesekali ku ambil bunga di sekitar pekarangan rumah yang harum karena setiap pagi selalu aku sirami. Warna-warni bunga bisa diibaratkan hidup aku sekarang.
Aku termasuk wanita menarik bila ada yang melihatku. Katanya sih aku ini orangnya manis, tapi masih manisan gula J. Aku hidup bersama  ibuku di rumah yang sederhana, tapi nyaman sekali. Semenjak kepergian ayahku, aku harus bisa membahagiakan ibuku semampuku.
Aku mempunyai seorang kekasih, namanya mas Iwan. Dia orangnya tinggi, putih, ganteng dan pokoknya perfect sekali. Bangga mempunyai pacar seperti dia. Dan lebih bangga lagi ketika mas Iwan mengatakan kepadaku bahwa hanya akulah satu-satunya wanita yang mampu memikat hatinya. Iiihh, tambah sayang sama mas Iwan. Hingga suatu ketika mas Iwan berjanji akan menikahiku.
Saat seperti inilah yang tidak aku sukai. Mas Iwan harus pergi merantau demi keperluan pernikahan kita nanti. Awalnya aku tak bisa membayangkan jika harus jauh darinya, dengan segala bujuk rayunya dia bisa meyakinkan aku bahwa semua akan terjaga dengan baik. Mas Iwan berjanji akan tetap setia ,menjaga hatinya hanya untuk aku seorang dan tidak ada waktu untuk berpaling dariku.
Semenjak kepergian mas Iwan, hari-hariku kelabu, tiada cahaya yang menyinari. Waktu itu ada tukang pos datang ke rumah mengantarkan surat. Iya, surat dari mas Iwan. Kangenku kepadanya serasa terobati dengan datangnya surat itu.



“….dek, mas baik-baik di sini. Mas harap, adek di sana juga baik. Titip separuh hatiku ya? Jaga baik-baik. Enam bulan lagi, mas pulang.”

Kasihmu,
Iwan

Ibu merasa senang ketika aku mulai senyum lagi setelah berhari-hari murung di kamar terus.
Detik demi detik, menit, jam, hari, minggu, dan bulanpun berlalu. Tak terasa sudah enam bulan terlewati. Saat yang aku tunggu-tunggu tuk menanti kedatangan mas Iwan, kasihku.
Aku mendapatkan kabar dari tetangga bahwa mas Iwan pulang. Segera ku datangi rumah mas Iwan, namun keluarga mas Iwan tidak menyambutku dengan baik. Mereka melihatku dengan sinis. Tidak ku temukan mas Iwan, lalu dimanakah mas Iwan? Aku memutuskan untuk kembali pulang. Memasuki ruang tengah tanpa mengucapkan salam. Ibuku heran melihat aku yang masuk ruangan tanpa mengucapkan salam. Ibuku membututiku, aku menangis sambil memeluk bantal. Ibuku bertanya kenapa dengan diriku, apa yang terjadi ?namun aku hanya menggeleng.
Keesokan harinya, ada seorang laki-laki mengucapkan salam. Dibalik jendela kamar kulihat mas Iwan sudah di depan pintu rumahku. Aku senang sekali mas Iwan akhirnya menemuiku. Aku membuka pintu dan langsung memeluknya, tapi mas Iwan aneh. Bukannya membalas pelukanku tapi malah melepaskan pelukanku, aku sedikit heran dengan sikap mas Iwan seperti itu.
Ku persilahkan masuk mas Iwan. Dengan wajah yang sangat tegang mas Iwanpun memulai pembicaraannya.
“dek”
“iya, mas”.
“ada sesuatu yang mau mas omongin”
Mendengar sesuatu yang keluar dari mulut mas Iwan, rasanya aku sudah tidak sabar untuk segera mendengarkannya. Aku menyuruh mas Iwan untuk segera memberitahukan apa yang akan disampaikan.
“katakanlah, mas”
“sebelumnya saya minta maaf, Dek. Saya..saya..saya mau memberikan ini” kata mas Iwan sambil memberikan undangan pernikahan dengan posisi terbalik kepadaku.
“siapa yang menikah mas?”tanyaku.
“maafkan mas, dek. Mas minggu depan akan menikah dengan Sri anak juragan ikan yang kaya raya itu”jelasnya dengan terbata-bata.
Seperti tersambar petir mendengar mas Iwan berkata seperti itu. Kubuang surat undangan itu ke lantai dan aku lari ke kamar. Kenapa mas Iwan tega sekali kepadaku. Bukankah ia berjanji ia pergi untuk persiapan pernikahan kita?bukankah mas Iwan berjanji akan setia kepadaku?
“Dek, maafkan mas. Dek, buka pintunya. Mas mau jelaskan semuanya. Mas tidak bisa menolak perjodohan ini. Mas dijodohkan oleh orang tua mas. Dek, mas mohon! jangan berprasangka buruk dengan mas. Dek, mas mohon dek” ujarnya.
“Pergi! Aku benci sama mas!” jawabku.

Hening.

“Yasudah. Dek, aku pamit ya. Aku minta doa restunya. Aku doakan kelak kau kan dapatkan laki-laki yang baik. Mas pulang dek.” Kata mas Iwan sambil beranjak keluar rumahku.
Entah apa yang harus aku lakukan sekarang. Perasaanku campur aduk. Kecewa pastinya. Tapi aku harus mengikhlaskan semua itu. Doaku untuk mas Iwan agar menjadi keluarga yang sakinah, mawaddah, warahmah.

Ku tuliskan luapan jiwa ku ke dalam kertas yang tak berdosa ini.

Aku percaya
Tentang aku yang kau tanam di hatimu
Dalam dan semakin dalam
Tangan jahiliyah mustahil meraihnya
Juga Tuhan

Namun,
Sesuatu terjadi
Mimpikah?

Kelabunya hati
Robohnya jiwa


Wanita itu!
Pamitmu, dukaku
Pergi, tak kembali

Kini ku buka lembaran baru, tanpa seorang mas Iwan lagi. Aku lebih sering menyibukkan diri agar aku tidak mudah terngiang bayang mas Iwan lagi.

Sekian.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar