Katakan “Tidak” untuk Buruk
Sangka
Oleh: Isnainy Muji S.
Pagi yang cerah. Secerah seragam yang kupakai pagi ini. Semangatku
menggebu-gebu dan bahkan aku terlalu semangat sehingga jadi over semangat.
Jatah untuk praktik mengajar hari ini. Ya, praktik PPL 1. Ketika namaku pertama
kali disebut, seketika senam jantung ‘dag dig dug’. Dengan penuh kesiapan,
akupun maju. Bismillah, ucapku dalam hati. Langkah kakiku menuntunku menuju
meja yang membisu tepat di pojok ruangan kelas.
“Assalamu’alaikum. Selamat pagi, semuanya!” sapaku.
“Wa’alaikum salam. Pagi, Bu.” jawab murid-murid serempak.
Ku hembuskan napas. Detak jantung yang berdegup kencang, perlahan
mulai stabil dan normal. Kucoba tuk mengawali pembelajaran dengan berdoa
bersama.
Aku pun mulai meraih laptop dan menyiapkan materi. Aku berusaha
membuat suasana kelas siap untuk menerima pelajaran. Mula-mula kutampilkan
gambar melalui OHP.
“Ada yang tahu ini gambar apa?” tanyaku.
“Gambar perempuan, Bu. Ada dua gadis, ada nenek, dan ada ibu,”
jawab Nisa.
Semua murid tertawa karena Nisa dengan kepolosannya menjawab gambar
yang kutampilkan. Akupun menghargainya meskipun belum sepenuhnya benar.
“Ada jawaban lain?” tanyaku kepada murid lain.
“Saya, Bu. Itu gambar Bawang Merah, Bawang Putih. Ibu Bawang Merah
dan nenek,” jawab Rina.
Tepuk tangan riuh dari murid lain untuk Rina menambah suasana kelas
aktif. Rina yang memang tergolong cerdas di kelas itu menjawab pertanyaanku
dengan tepat.
“Tepat sekali, Rina. Jawaban kamu benar. Itu adalah gambar Bawang
Merah, Bawang Putih, Ibu Bawang Merah, dan nenek,” tegasku.
Kuperhatikan satu persatu murid di kelas ini, nampak di pojok
bangku paling belakang, murid laki-laki yang terlihat kurang semangat. Lumayan
tampan. Dan wajahnya tak membosankan. Sempat dalam hati bertanya, apa dia tidak
suka dengan cara mengajarku? Ataukah dia sedang ada masalah? Tapi entahlah.
Akupun mencoba menghilangkan sangkaku. Kualihkan pandanganku ke OHP lagi. Aku
pun melanjutkan ngajar.
“Ibu ingin kalian untuk berhitung,” pintaku.
Semua murid antusias untuk berhitung sesuai anjuranku. Dan berakhir
nomor 17 murid laki-laki tadi, ternyata namanya Soni. Aku membagikan lembar
cerpen beserta lembar pertanyaan kepada semua murid.
“Silakan kalian baca, kalian cermati cerpen yang telah ibu bagikan.
Kemudian kerjakan soal-soalnya. Kalian yang menyebutkan nomor ganjil, silakan
kerjakan soal bernomor ganjil. Dan bagi kalian yang menyebutkan nomor genap,
silakan kerjakan soal bernomor genap. Bisa dimengerti?” perintahku.
“Bisa, Bu,” jawab mereka dengan kompak.
Semua murid mulai melakukan perintahku. Aku berusaha mendekati dan
memeriksa mereka yang sedang asyik dengan lembar masing-masing. Langkahku
berhenti tepat di samping kiri tempat duduk Soni. Murid satu ini beda dengan
murid lainnya, kenapa ya? Ada apa ya? Tapi entahlah, aku tidak boleh gegabah
mengambil simpulan.
“Bu, sudah selesai,” kata Rina membuyarkan sangkaku.
“Bagaimana yang lain, sudah selesai semua?” tanyaku.
“Sudah, Bu,” jawab mereka serempak.
“Baiklah, sekarang ibu menginginkan kalian untuk membentuk
lingkaran. Silakan kalian yang tadi menyebutkan nomor ganjil membentuk
lingkaran terlebih dahulu. Menghadap
keluar. Dan bagi kalian yang tadi menyebutkan nomor genap silahkan berada di
sisi luar mereka.”
Semua murid berusaha dengan cepat melakukan apa yang aku
perintahkan. Mereka berusaha melakukan apa yang aku inginkan. Senang sekali
melihat mereka aktif dan membantu melancarkan proses pembelajaran.
“Kalian yang berada di lingkaran dalam, sampaikan informasi yang
kalian peroleh kepada teman yang berada di hadapan kalian. Setelah selesai,
kalian yang berada di lingkaran luar geser dua langkah ke kanan, dan sampaikan
informasi yang kalian peroleh kepada teman yang berada di hadapan kalian,”
tambahku.
Aku mulai mengawasi satu persatu murid yang sedang bertukar info.
Hanya satu yang menjadi perhatian lebih, Soni, ya Soni. Kenapa dengan anak ini?
Apakah aku membosankan? Apakah cara mengajarku? Kenapa? Apa yang harus aku
lakukan? Ya memang tidak semua murid menyukaiku. Tapi setidaknya aku sudah
berusaha untuk membuat mereka tidak bosan dengan menggunakan metode
pembelajaran yang menyenangkan, menurutku. Ya, menyenangkan menurutku, belum
tentu menyenangkan untuk si Soni. Tapi tidak menjadi masalah buatku, malah aku
berterimakasih kepada Soni walaupun tidak aku ucapkan secara langsung sih. Ia
telah membuatku tertantang agar mengajar lebih baik lagi kelak.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar