Sang Inspirator
Oleh:
Isnainy Muji S.
“Waladh dhoolliin,” ujar ayah lirih. Kulihat tubuh lemah
yang menyender di tembok imam. Baru saja mulai rakaat pertama salat Maghrib,
berhenti. Aku yang sedari tadi mengamati ayah sembari memakai mukena, pun
sempat bertanya dalam hati. Ada apa dengan ayah? Tidak seperti biasa beliau
lemah ketika jadi imam. Memang kali ini puasa pertama di bulan ramadhan. Tapi
kan sudah buka puasa, nampaknya energi ayah belum benar-benar pulih walaupun
asupan telah dimakannya.
Teringat
sore tadi, ketika ayah keluar dari kamar, ia mengeluh agak kliyengan. Memang kondisi ayah yang sebenarnya tak boleh
melaksanakan puasa, memaksakan diri menjalani puasa. Penyakitlah yang
menggerogoti raganya. Penyakit tujuh tahun yang lalu dan sampai sekarang, menjadikannya
kurus, litlung “kulit balung”, kulit yang menjuntai kendor tak berisi daging. Mengharukan
saat melihat kondisi ayah yang sekarang.
Sempat
aku dengar ketika ibuku menghimbau pada ayah agar tidak usah puasa penuh.
“Pak,
bulan ini ndak usah puasa penuh saja, gak papa. Toh Bapak kan harus patuh apa kata dokter. Kondisi Bapak tidak
memungkinkan untuk menjalani puasa penuh,” himbau ibu.
“Ngga
usah puasa penuh gimana, Nduk! Ya aku
harus tetep puasa penuh. Masih untung diberi kesehatan tahun ini. Bisa
mengikuti puasa. Lha kalau tahun besok sudah ndak bisa ikut puasa
gimana?” jawab ayah tegas.
Ibu
terdiam. Dan hanya mengiyakan apa kata ayah. Ibu yang telah merawat ayah dengan
penuh kasih sayang. Yang mengatur segala urusan makanannya dan menyiapkan
segala urusan obatnya.
Tersadar
aku. Aku yang telah siap memakai mukena, mendengarkan ayah mengulang lagi takbiratul ihram. Kurasakan beliau gigih
melawan rasa lemas yang menyelimutinya.
“Assalamu’alaikum warahmatullah,” seru
ayah dengan dibarengi tolehan kepala menghadap ke kiri sebagai gerakan akhir
dalam sholat. Dilanjutkan zikir dan doa.
Kami
pun kembali ke rumah. Ayah langsung menuju kamarnya. Ya, jarak rumah dan
mushola tidak begitu jauh, karena mushola berdiri tepat setengah meter dari
rumah. Mushola yang dibangun di tanah wakaf ibu. Dulu warga antusias membantu
pembangunan, ada yang mengirim pasir, semen, genting, kayu dan alhamdulillah
terciptalah mushola itu. Mushola yang kini penuh kontroversi. Mushola yang penuh
jamaah hanya ketika ramadan saja. Ketika hari biasa, paling cuma 10 jamaah. Saat
mushola jadi dan bau cor masih kental menyengat hidung, ayah menyuruh salah
seorang ulama’ di tempatku agar mengajar ngaji anak-anak sekitar yang ikut
jamaah. Ayah pun bersedia untuk menggaji. Ternyata, niat tulus ayah tak
direspon baik oleh ulama’ itu. Tak berapa lama kemudian ulama’ itu lebih
memilih kembali ke rumahnya saja dan berhenti mengajar di mushola. Alasannya
pun tidak logis, hanya karena anak didiknya nakal-nakal, beliau memutuskan
berhenti mengajar. Dan ayah tetap menggajinya. Sungguh sangat disayangkan
sekali. Kalau saja waktu itu aku sudah cukup umur dan memiliki bekal mengajar
agama banyak, aku juga tak akan menyiakan kesempatan itu, walaupun hanya
sekedar mengajar ngaji, tak digaji pun tak masalah.
Semenjak
kejadian itu, ayah sering mendapatkan hujatan dari tetangga. Ada yang bilang,
beliau tak menggaji ulama’ makanya berhenti ngajar, ada yang bilang lagi, ayah
galak, ayah main tangan dengan anak yang belajar ngaji di mushola, dan masih
banyak yang lainnya. Ayah hanya bisa menerima dengan ikhlas hujatan itu.
Menjelang
tarawih, aku cerita kepada ibu mengenai kejadian pas salat Maghrib. Dan ibu
mulai cemas.
“Apa
nanti ayah sanggup jadi imam tarawih dengan kondisi seperti itu?”
Helaan nafas panjang ibu menahan tangis begitu kurasakan jua. Keluar dari
kamar, ayah menyuruhku untuk menghubungi paman agar jadi imam tarawih malam
itu. Ternyata paman sedang kurang enak badan pula. Ayah mencari nama di kontak
hpnya, sepertinya akan menelepon, selang beberapa kemudian terdengar suara di
balik hp mengiyakan ayah.
Aku
duduk di tengah antara ayah dan ibu. Tangan kanan memijit lembut pundak ayah
dan tangan kiri memijit lembut pundak ibu. Gurauan mulai menghangatkan suasana.
“Kok
beda ya, yang kiri gendut, yang kanan kerontang,” godaku.
“Yaiyalah,
lha wong yang kanan jarang makan.”
Sindir ibu.
“Bukannya
jarang makan tapi memang lagi tirakat.” Jawab ayah.
Suasana
yang begitu aku rindu ketika aku harus berpisah karena studiku. Suasana yang
terkadang membuatku menangis sendiri. Dan suasana yang selalu aku inginkan
tetap demikian adanya sampai aku wisuda nanti. Besar harapanku, kelak ketika wisuda
bergelar sarjana pendidikan, aku masih punya orang tua utuh. Semoga ayah tetap
dalam lindungan Tuhan, dan semoga ayah selalu diberikan kesehatan serta panjang
umur. Doaku dalam sujudku. Amin.
Keterbiasaan
dan kegigihan ayah menjalani puasa tahun ini menjadikanku semangat. Aku harus bisa. Aku harus mampu. Dan aku
harus yakin.
***
Tidak ada komentar:
Posting Komentar