Senin, 29 September 2014

Ayahku, Inspiratorku.

Sang Inspirator
Oleh: Isnainy Muji S.

Waladh dhoolliin,” ujar ayah lirih. Kulihat tubuh lemah yang menyender di tembok imam. Baru saja mulai rakaat pertama salat Maghrib, berhenti. Aku yang sedari tadi mengamati ayah sembari memakai mukena, pun sempat bertanya dalam hati. Ada apa dengan ayah? Tidak seperti biasa beliau lemah ketika jadi imam. Memang kali ini puasa pertama di bulan ramadhan. Tapi kan sudah buka puasa, nampaknya energi ayah belum benar-benar pulih walaupun asupan telah dimakannya.
Teringat sore tadi, ketika ayah keluar dari kamar,  ia mengeluh agak kliyengan. Memang kondisi ayah yang sebenarnya tak boleh melaksanakan puasa, memaksakan diri menjalani puasa. Penyakitlah yang menggerogoti raganya. Penyakit tujuh tahun yang lalu dan sampai sekarang, menjadikannya kurus, litlungkulit balung”, kulit yang menjuntai kendor tak berisi daging. Mengharukan saat melihat kondisi ayah yang sekarang.
Sempat aku dengar ketika ibuku menghimbau pada ayah agar tidak usah puasa penuh.
“Pak, bulan ini ndak usah puasa penuh saja, gak papa. Toh Bapak kan harus patuh apa kata dokter. Kondisi Bapak tidak memungkinkan untuk menjalani puasa penuh, himbau ibu.
“Ngga usah puasa penuh gimana, Nduk! Ya aku harus tetep puasa penuh. Masih untung diberi kesehatan tahun ini. Bisa mengikuti puasa. Lha kalau tahun besok sudah ndak bisa ikut puasa gimana?” jawab ayah tegas.
Ibu terdiam. Dan hanya mengiyakan apa kata ayah. Ibu yang telah merawat ayah dengan penuh kasih sayang. Yang mengatur segala urusan makanannya dan menyiapkan segala urusan obatnya.
Tersadar aku. Aku yang telah siap memakai mukena, mendengarkan ayah mengulang lagi takbiratul ihram. Kurasakan beliau gigih melawan rasa lemas yang menyelimutinya.
Assalamu’alaikum warahmatullah,” seru ayah dengan dibarengi tolehan kepala menghadap ke kiri sebagai gerakan akhir dalam sholat. Dilanjutkan zikir dan doa.
Kami pun kembali ke rumah. Ayah langsung menuju kamarnya. Ya, jarak rumah dan mushola tidak begitu jauh, karena mushola berdiri tepat setengah meter dari rumah. Mushola yang dibangun di tanah wakaf ibu. Dulu warga antusias membantu pembangunan, ada yang mengirim pasir, semen, genting, kayu dan alhamdulillah terciptalah mushola itu. Mushola yang kini penuh kontroversi. Mushola yang penuh jamaah hanya ketika ramadan saja. Ketika hari biasa, paling cuma 10 jamaah. Saat mushola jadi dan bau cor masih kental menyengat hidung, ayah menyuruh salah seorang ulama’ di tempatku agar mengajar ngaji anak-anak sekitar yang ikut jamaah. Ayah pun bersedia untuk menggaji. Ternyata, niat tulus ayah tak direspon baik oleh ulama’ itu. Tak berapa lama kemudian ulama’ itu lebih memilih kembali ke rumahnya saja dan berhenti mengajar di mushola. Alasannya pun tidak logis, hanya karena anak didiknya nakal-nakal, beliau memutuskan berhenti mengajar. Dan ayah tetap menggajinya. Sungguh sangat disayangkan sekali. Kalau saja waktu itu aku sudah cukup umur dan memiliki bekal mengajar agama banyak, aku juga tak akan menyiakan kesempatan itu, walaupun hanya sekedar mengajar ngaji, tak digaji pun tak masalah.
Semenjak kejadian itu, ayah sering mendapatkan hujatan dari tetangga. Ada yang bilang, beliau tak menggaji ulama’ makanya berhenti ngajar, ada yang bilang lagi, ayah galak, ayah main tangan dengan anak yang belajar ngaji di mushola, dan masih banyak yang lainnya. Ayah hanya bisa menerima dengan ikhlas hujatan itu.
Menjelang tarawih, aku cerita kepada ibu mengenai kejadian pas salat Maghrib. Dan ibu mulai cemas.
“Apa nanti ayah sanggup jadi imam tarawih dengan kondisi seperti itu?”
 Helaan nafas panjang ibu menahan tangis begitu kurasakan jua. Keluar dari kamar, ayah menyuruhku untuk menghubungi paman agar jadi imam tarawih malam itu. Ternyata paman sedang kurang enak badan pula. Ayah mencari nama di kontak hpnya, sepertinya akan menelepon, selang beberapa kemudian terdengar suara di balik hp mengiyakan ayah. 
Aku duduk di tengah antara ayah dan ibu. Tangan kanan memijit lembut pundak ayah dan tangan kiri memijit lembut pundak ibu. Gurauan mulai menghangatkan suasana.
“Kok beda ya, yang kiri gendut, yang kanan kerontang,” godaku.
“Yaiyalah, lha wong yang kanan jarang makan.” Sindir ibu.
“Bukannya jarang makan tapi memang lagi tirakat.” Jawab ayah.
Suasana yang begitu aku rindu ketika aku harus berpisah karena studiku. Suasana yang terkadang membuatku menangis sendiri. Dan suasana yang selalu aku inginkan tetap demikian adanya sampai aku wisuda nanti. Besar harapanku, kelak ketika wisuda bergelar sarjana pendidikan, aku masih punya orang tua utuh. Semoga ayah tetap dalam lindungan Tuhan, dan semoga ayah selalu diberikan kesehatan serta panjang umur. Doaku dalam sujudku. Amin.
Keterbiasaan dan kegigihan ayah menjalani puasa tahun ini menjadikanku semangat.  Aku harus bisa. Aku harus mampu. Dan aku harus yakin.

***

Tidak ada komentar:

Posting Komentar