Jumat, 07 Agustus 2020

Sang Inspirator

Sang Inspirator

Oleh: Isnainy Muji S.

 

Waladh dhoolliin,” ujar ayah lirih. Kulihat tubuh lemah yang menyender di tembok imam. Baru saja mulai rakaat pertama salat Maghrib, berhenti. Aku yang sedari tadi mengamati ayah sembari memakai mukena, pun sempat bertanya dalam hati. Ada apa dengan ayah? Tidak seperti biasa beliau lemah ketika jadi imam. Memang kali ini puasa pertama di bulan ramadhan. Tapi kan sudah buka puasa, nampaknya energi ayah belum benar-benar pulih walaupun asupan telah dimakannya.

Teringat sore tadi, ketika ayah keluar dari kamar,  ia mengeluh agak kliyengan. Memang kondisi ayah yang sebenarnya tak boleh melaksanakan puasa, memaksakan diri menjalani puasa. Penyakitlah yang menggerogoti raganya. Penyakit tujuh tahun yang lalu dan sampai sekarang, menjadikannya kurus, litlungkulit balung”, kulit yang menjuntai kendor tak berisi daging. Mengharukan saat melihat kondisi ayah yang sekarang.

Sempat aku dengar ketika ibuku menghimbau pada ayah agar tidak usah puasa penuh.

“Pak, bulan ini ndak usah puasa penuh saja, gak papa. Toh Bapak kan harus patuh apa kata dokter. Kondisi Bapak tidak memungkinkan untuk menjalani puasa penuh, himbau ibu.

“Ngga usah puasa penuh gimana, Nduk! Ya aku harus tetep puasa penuh. Masih untung diberi kesehatan tahun ini. Bisa mengikuti puasa. Lha kalau tahun besok sudah ndak bisa ikut puasa gimana?” jawab ayah tegas.

Ibu terdiam. Dan hanya mengiyakan apa kata ayah. Ibu yang telah merawat ayah dengan penuh kasih sayang. Yang mengatur segala urusan makanannya dan menyiapkan segala urusan obatnya.

Tersadar aku. Aku yang telah siap memakai mukena, mendengarkan ayah mengulang lagi takbiratul ihram. Kurasakan beliau gigih melawan rasa lemas yang menyelimutinya.

Assalamu’alaikum warahmatullah,” seru ayah dengan dibarengi tolehan kepala menghadap ke kiri sebagai gerakan akhir dalam sholat. Dilanjutkan zikir dan doa.

Kami pun kembali ke rumah. Ayah langsung menuju kamarnya. Ya, jarak rumah dan mushola tidak begitu jauh, karena mushola berdiri tepat setengah meter dari rumah. Mushola yang dibangun di tanah wakaf ibu. Dulu warga antusias membantu pembangunan, ada yang mengirim pasir, semen, genting, kayu dan alhamdulillah terciptalah mushola itu. Mushola yang kini penuh kontroversi. Mushola yang penuh jamaah hanya ketika ramadan saja. Ketika hari biasa, paling cuma 10 jamaah. Saat mushola jadi dan bau cor masih kental menyengat hidung, ayah menyuruh salah seorang ulama’ di tempatku agar mengajar ngaji anak-anak sekitar yang ikut jamaah. Ayah pun bersedia untuk menggaji. Ternyata, niat tulus ayah tak direspon baik oleh ulama’ itu. Tak berapa lama kemudian ulama’ itu lebih memilih kembali ke rumahnya saja dan berhenti mengajar di mushola. Alasannya pun tidak logis, hanya karena anak didiknya nakal-nakal, beliau memutuskan berhenti mengajar. Dan ayah tetap menggajinya. Sungguh sangat disayangkan sekali. Kalau saja waktu itu aku sudah cukup umur dan memiliki bekal mengajar agama banyak, aku juga tak akan menyiakan kesempatan itu, walaupun hanya sekedar mengajar ngaji, tak digaji pun tak masalah.

Semenjak kejadian itu, ayah sering mendapatkan hujatan dari tetangga. Ada yang bilang, beliau tak menggaji ulama’ makanya berhenti ngajar, ada yang bilang lagi, ayah galak, ayah main tangan dengan anak yang belajar ngaji di mushola, dan masih banyak yang lainnya. Ayah hanya bisa menerima dengan ikhlas hujatan itu.

Menjelang tarawih, aku cerita kepada ibu mengenai kejadian pas salat Maghrib. Dan ibu mulai cemas.

“Apa nanti ayah sanggup jadi imam tarawih dengan kondisi seperti itu?”

 Helaan nafas panjang ibu menahan tangis begitu kurasakan jua. Keluar dari kamar, ayah menyuruhku untuk menghubungi paman agar jadi imam tarawih malam itu. Ternyata paman sedang kurang enak badan pula. Ayah mencari nama di kontak hpnya, sepertinya akan menelepon, selang beberapa kemudian terdengar suara di balik hp mengiyakan ayah. 

Aku duduk di tengah antara ayah dan ibu. Tangan kanan memijit lembut pundak ayah dan tangan kiri memijit lembut pundak ibu. Gurauan mulai menghangatkan suasana.

“Kok beda ya, yang kiri gendut, yang kanan kerontang,” godaku.

“Yaiyalah, lha wong yang kanan jarang makan.” Sindir ibu.

“Bukannya jarang makan tapi memang lagi tirakat.” Jawab ayah.

Suasana yang begitu aku rindu ketika aku harus berpisah karena studiku. Suasana yang terkadang membuatku menangis sendiri. Dan suasana yang selalu aku inginkan tetap demikian adanya sampai aku wisuda nanti. Besar harapanku, kelak ketika wisuda bergelar sarjana pendidikan, aku masih punya orang tua utuh. Semoga ayah tetap dalam lindungan Tuhan, dan semoga ayah selalu diberikan kesehatan serta panjang umur. Doaku dalam sujudku. Amin.

Keterbiasaan dan kegigihan ayah menjalani puasa tahun ini menjadikanku semangat.  Aku harus bisa. Aku harus mampu. Dan aku harus yakin.

***


Mbreguduk

 

Terdengar motor parkir di depan rumah.

Aku tak menghiraukan, karena biasanya juga bakalan dipanggil. Paling ada yang beli. Tapi langkah kakinya seperi terburu-buru.

“Assalamu ‘alaikum, Dek IIS!” Ibuk Titi sembari mengambil dedek Tsaqif yang sedang ada di gendonganku.

“Iya, Ibuk. Kenapa?” kulepas gendongan dan menyerahkan dedek Tsaqif ke pelukan Ibuk Titi.

“Mamah mana? Katanya jatuh?” sambil mencari Mamah di seluruh ruangan rumah.

“Jatuh dimana? Mamah lagi bakar sampah di belakang rumah kok, Buk. Coba lihat saja ke belakang rumah.”

Buk Titi tak menghiraukan jawabanku.

Aku pun mulai kebingungan ketika warga berkerumun ke rumah menghampiriku. Ada yang mencoba menenangkanku ada juga yang berusaha menimang dedek Tsaqif.

“Dek Iis gak usah pikiran, Mamah ada yang ngurus. Sebentar lagi juga sampai rumah.”

Tak lama kemudian Mamah masuk rumah tapi langsung menuju kamar. Jalannya pun cepat. Aku membuntutinya. Aku harus tanya apa yang terjadi. Kulihat Mamah. Sedikit shock ketika melihat Mata Mamah bengkak dan baju yang dipakainya berlumur darah dibagian bahu kanan.

“Mamah kenapa?”

Mamah berusaha untuk membuatku tak pikiran.

“Mamah gapapa, Mamah kepleset di belakang tadi,” sambil ganti baju.

“Terus kenapa pipi Mamah diperban?”

“Ahhhh, gapapa, cuma sobek sedikit tadi, diperban, biar darahnya gak banyak.”

“Terus kenapa Mamah ganti baju? Mamah mau kemana?”

Belum sempat Mamah menjawab pertanyaanku, Kakak Menghampiri.

“Mamah sudah selesai? Kita segera berangkat ke rumah sakit.”

Dan aku pun mulai bingung, “Kenapa harus dibawa ke rumah sakit jika hanya sobek sedikit?”

“Mamah harus menjalani penanganan serius di rumah sakit. Kamu di rumah saja. Nanti ada yang nemeni. Tenang saja. Gak usah pikiran.”

Mamah berjalan keluar begitu saja, dan aku pun lemas.

Ceritalah Buk Titi.

Kalau

 

Kalau saja bisa kuputar waktu, takkan kuucapkan kata-kata itu. Menyesal? Ya, aku menyesal. Babe sedang terbaring di kursi goyangnya. Ia larut dengan kenikmatan kopi petet kental. Decitan kayu jati begitu cantik mengiringi. Babe masih gemar menyembunyikan rasa sakitnya itu pada kami. Bahkan nyaris tidak boleh tahu bahwa Babe sedang lemah raganya. Ia berusaha untuk terlihat bugar di hadapan kami. Tak terbersit di pikiran, Babe sedang sakit parah. Bahkan bisa dikatakan sangat parah. Mamah yang sedari tadi mendampingi Babe, pun hanyut dalam aroma teh racikan. Senja itu, waktu yang pas bagi kami berkumpul. Kami di rumah tinggal berempat. Itupun jika aku sedang libur kuliah. Sedangkan adikku berangkat sekolah pagi, dan pulang petang karena les belajar tambahan. Kakakku sudah berumah. Terdengar suara motor sedang parkir di garasi. Oh, adikku pulang. Tumben pulangnya masih terang. Kedatangannya membuyarkan suasana santai kita. Ia menyelinap begitu saja. Langsung duduk di ayunan kaki kursi goyang Babe. Momen seperti ini dikategorikan langka. Mamah meneguk tehnya dan meletakkan cangkirnya sambil berkata, “Nanti kalau menikah, tidak usah jauh-jauh.” “Ahhh, gapapa, Nduk. Wong jodo kuwi kan gak ngerti.” Jawab Babe. “Nanti kita tidak ada yang mengurus pas sudah tua.” Mamah menimpali perkataan Babe. “Ya, nggak, Mah. Pas nanti aku sudah menikah, Mamah sama aku saja.” Selaku. Adikku gak terima dengan ucapanku. “Oh, gak bisa, Mamah ikut di rumahku!”  “Gak bisa, pokoknya Mamah ikut denganku,” pintaku. “Pokoknya Mamah ikut denganku, nanti Mamah tak sejahterakan, tinggal makan dan tidur saja.” Tambahan adikku. Kusanggah perkataan adikku. “Alaaaah, masa sih? Kamu gak bisa masak, kan? Nanti jangan-jangan Mamah disuruh masakin terus. Gak ah. Mamah ikut denganku saja nanti kalau aku sudah menikah.” “Pokok e Mamah sama aku saja. Ya, kan, Mah?” adikku merengek. “Mamah ikut siapa saja, bisa, gak usah rebutan” kata Mamah tegas. “Terus aku ikut siapa?” ucap Babe lirih. Deg. Kita diam. Ucapan Babe memang lirih, tapi mampu menghentikan perdebatan kita sore itu. Apa ada yang salah dari ucapan kita tadi ya? Dalam diamnya saat perdebatan kami tadi, Babe berusaha untuk menahan sesuatu yang kita tidak perlu tahu. Pikiranku kemana-mana: apa iya Babe memikirkan, kenapa yang diperebutkan hanya Mamah, tidak dengan Babe? Ahhhh, itu hanya pikirku saja.  Aku berusaha memutar ulang pembicaraan yang mampu membuat Babe berkata demikian. Kita tidak sadar bahwa di antara kami ada dua insan yang harus sama-sama dimuliakan. Babe yang sedari tadi memperhatikan kami, lesu berkata. Kami tidak sadar, kami tidak paham sampai demikian. Kita terdiam lama. Bahkan lama sekali. Akhirnya kuberanikan diri, “Jika Mamah ikut denganku, ya pasti Babe juga ikut denganku.” Pun adikku yang mencoba menenangkan, “Yaiya, sama lah, Beh. Kalau Mamah denganku, pastinya Babe juga ikut denganku juga kan.” Helaan napas ini terdengar serentak. Ada kelegaan tersendiri. Tapi bagi Babe mungkin tidak lega saat itu. Ada yang masih mengganjal. Entah. Entah apa yang harus aku katakan lagi selain Maaf. Maaf yang mungkin terlambat. Maaf yang mungkin tidak guna. Maaf beribu maaf. Tapi untuk apa? Babe kini sudah tidak bersama kami. Tidak dengan Mamah. Tidak denganku. Juga tidak dengan adikku. Merasa bersalah. Bersalah. Sungguh bersalah. Maafkan kami, Beh. Hanya itu yang bisa kulakukan, saat terngiang peristiwa itu. Babeku telah tenang di surga-Nya. Maafkan kami, Beh. Maafkan. Kita salah.

♫♫♫Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa: kehilangan dia, sungguh berat aku rasa: hidup tanpa dia ♫♫♫

Terserah

 

TERSERAH

Oleh: Isnainy Muji S.

 

Sudah tidak ada lagi yang mempercayaiku. Kenapa baru sekarang aku dicari? Tidak ada di saat aku butuh. Tidak ada di saat aku ingin cerita. Kenapa baru sekarang? Kenapa? Menyalahkanku? Kalaupun aku ngomong, omonganku gak dipercaya. Aku hilang? Dianggap kabur. Tidakkah kalian sadar omongan kalian: menyakitiku.

Pagi ini aku tidak ikut kegiatan. Kalian pasti menganggapku bolos. Mungkin ini kesempatanku untuk tidur. Karena semalaman aku memang belum tidur. Ada beban yang harus aku pikirkan, dan tidak serta merta aku ceritakan.

Di sekolah pasti sedang ramai membicarakanku. Di sekolah pasti sedang membicarakan kepulanganku karena aku tidak ada di sekolah dan di asrama akhir-akhir ini. Selama ini juga tidak ada yang peduli denganku. Tidak ada yang peduli dengan keberadaanku.

Ketika aku sedang berada di kamar, datang perempuan menghampiriku. Oh ya, aku sekolah di tempat berasrama. Jadi posisi saat ini aku ada di asrama karena tidak diizinkan ikut kegiatan.

“Kenapa tidak berangkat kegiatan?” tanyanya

“Untuk apa berangkat, Buk. Saya gak dibolehin ikut praktik jika tidak dapat tanda tangan orang tua. Saya tidak mungkin pulang ke rumah, Buk. Rumah saya jauh dari sini.”

“Terus kemana selama tiga hari ini?”

“Tiga hari, siapa yang bilang, Buk? Mana sampai tiga hari, ya kalau di hitung tiga ya bearti dengan hari ini. Saya gak hilang, Buk. Saya ada. Hari ini ya karena saya gak diizinkan praktik.”

“Terus gimana yang sebenarnya?”

“Saya gak ada di asrama itu baru kemarin malam sama tadi malam. Saya tadi malam sudah di asrama kok, Buk.”

“Kenapa gak tidur di asrama?”

“Bosan, Buk.”

Tiba-tiba datang pihak asrama. Beliau menegaskan.

“Sudah, Buk. Gak usah ditungguin. Biar saja. Biarkan pulang, nanti saya siapkan travelnya. Udah Ibuk kembali saja ke sekolah. Tinggalin saja. Sudah gedhe juga kok. Kasur hilang juga kan kemarin tuh. Udah biarin saja.”

Kita terdiam. Beliau pun pergi meninggalkan kami berdua lagi. Dalam hati aku ingin bantah. Aku gak melakukan itu semua. Aku gak melakukan itu. Haruskah aku teriak bahwa aku tidak melakukan itu!

“Benar kamu melakukan itu semua?”

“Bukan, Buk. Itu abangnya. Bawa kasur satu”

“Kamu melihatnya sendiri?”

“Iya.”

“Lalu kenapa ketika ada yang menuduhmu, kamu tidak bantah bahwa kamu tidak melakukannya!”

“Untuk apa, Buk. Mereka bisanya hanya menyalahkan. Gak lihat sendiri, udah ngomong kemana-mana.”

“Kalau memang itu gak kamu lakukan, ya bicara dong apa adanya. Kalau kamu gak bicara, orang gak akan tahu yang sebenarnya.”

“Biarin ajah, Buk. Lagian hilangnya kasur itu setelah saya pergi.”

“Memangnya kamu pergi kemana?”

“Ke tempat teman. Di asrama bosan.”

“Kalau kamu sekarang dipulangkan, kamu siap?”

“Siap saja, Buk. Tapi saya gak pulang ke rumah.”

“Terus mau kemana?”

“Ya kemana saja, yang penting tidak pulang ke rumah.”

“Kamu masih dendam dengan orang tuamu gegara Beliau tidak datang di acara pentingmu dulu?”

“Tidak, Buk.”

Tidak mungkin aku ceritakan yang sebenarnya. Aku tidak bisa. Mungkin belum bisa cerita sekarang.

Minggu, 18 Januari 2015

Emboh



Sesungguhnya tak ingin lebih dari apa yang aku ingin di tahun ini dan berikutnya. Aku hanya ingin menikah seperti yang lain, menikah dengan orang yang aku cintai dan ia pula mencintaiku. Mungkin jalan Tuhan memang begini adanya.
Tepat pagi tadi sampai sekarang pukul 15.16 aku tak merespon satupun pesan singkat bahkan telfonnya.
Aku paling sensi banget dengan keterangan yang tak masuk akal. Tadi pagi aku mendapati pesan darinya yang mengatakan bahwa ia dipesan oleh ayahnya agar tidak menikah denganku. Haha.
Seketika, deg! 
Ditambah lagi, tadi aku mendapati pesan dari seorang cewek yang menyatakan bahwa aku disuruh pelan-pelan melupakannya. Hahaha
Oke !!
Mungkin memang cukup dan cukup saja.

Rabu, 31 Desember 2014

Haturku



Terima kasih
Oleh: IsnainyMuji S.

Keraguan semalam terjawab. Seneng atau apa namanya, yang pasti luar biasa. Ya, menjelang Maghrib, aku mendapati pesan masuk di hape bahwa pacar aku mau jemput aku. Sontak menjerit kegirangan. Hahaha.
            Tuhan saja memaafkan umatnya, kenapa aku tidak? Ya, baiklah aku mencoba untuk lapang dada dan berusaha lupa dengan masalah yang ada di tahun 2014.
            Terima kasih tahun 2014, telah memberikanku warna kehidupan, berharap di tahun 2015 ini menjadi lebih baik, semua yang tertunda di 2014 dapat terwujud di 2015, harapan dan cita-cita terwujud. Amin.
            Terima kasih untuk semua, yang selama ini sudah baik terhadapku, telah memberikan kesempatan kepadaku untuk menikmati kebersamaan dan suka cita di tahun 2014.
            Terima kasih pula untuk semua, yang selama ini tidak baik terhadapku, cemoohan, gunjingan, cercaan dan semua bualan terhadapku, akan kujadikan motivasi hidupku, bahwa apa yang kalian pikirkan tentangku tidak seperti yang kalian bicarakan. Terima kasih telah mengajarkaku untuk bersabar, tetap rendah hati, dan tak pernah berhenti bersyukur terhadap nikmat atas keberuntunganku selama ini.
            Cita-cita dan harapan di 2015 sangat banyak. Semoga Tuhan senantiasa melancarkan dan mengabulkan apa saja yang kita harapkan, untuk aku, kamu, dia, mereka yang baik maupun tidak baik terhadapku. Terima kasih.

Selasa, 30 Desember 2014

Fiksi Akhir Tahun



entah
Oleh: isnainy muji s.

            Akhir tahun kali ini beda dari tahun yang sebelumnya. Entah karena kesibukan atau yang lainnya. Banyak BBM masuk pada nanyain, tahun baru kemana? Tahun baru sama siapa? Ya, gueh cuma bisa jawab, ngga tahu mau kemana. Gueh punya pacar kok, jangan anggap karena gueh jawab seperti itu gueh ngga punya pacar ya.
            Tahun baru kali ini ngga jelas. Mungkin karena masih terbawa marahan kemarin. Ya, gueh marah karena usaha gueh dipandang sebelah mata. Siapa yang ngga marah coba. Temen-temen kelas ngajakin tahun barunan bareng, tapi maaf gueh nolak karena gueh berpikiran bahwa tahun ini adalah momen terakhir di kota ini, pacar gueh pula. Gueh belum bilang kepadanya mengenai hal itu. Tapi suatu ketika, gueh mendapatinya buat status di BBM bahwa tahun baru dia mau muncak. Lha siapa yang ngga sakit hati coba? Sudah dibela-belain kayak gitu malah seenaknya sendiri.
            Ditambah lagi, kebetulan sore itu gueh disuruh pulang sama babe. Karena nenek gueh kritis. Iya, dia ngajak pulang bareng sih. Tapi gueh nolak. Karena gueh masih jengkel dengan hal tadi. Aku memutuskan untuk pulang sendiri. Tapi saat gueh di jalan menuju pulang yang dijemput sepupu gueh, gueh ngeliat dia sama cewek lain. Hahaha. Padahal tadi sebelum gueh pulang, dia bilang, katanya kalau tidak pulang sama aku bakal pulang besoknya. Lha kok malah pulang sama cewek lain. Hahaha. Laki-laki. Sakit hati gueh yang tadinya mau sembuh, seolah ditambah lagi.
            Selanjutnya, hari Minggu, dia ijin mau pulang ke kota. Iya, dia ngajakin gueh, tapi gueh bilang hari Senin saja, soal e gueh ada kuliah Selasanya, tapi dia tetep kekeh pulang sore itu juga. Padahal gueh tahu kalo dia itu libur, ngga ada keperluan apa-apa di Kota. Tak suruh nunggu kok ngga mau. Malah pulang Kota sama cewek yang barengan pulang kemarin. Ya, itu sakit hati yang keberapa, entah.
            Oh ya, ketika aku sampai di kos. Mungkin dia seharian sms gueh, ngucapin selamat pagi lah, selamat beraktifitas lah, selamat sore lah, ngajakin sholat juga, tapi gueh tak menghiraukannya. Karena faktor sakit gueh yang itu. Sebel, benci, marah, deelel. Malam aku sampai di kos. Aku sedang beres-beres, tiba-tiba hape gueh (hapenya dia sebener e diberikan ke aku) ada telpon masuk, ya dia telpon, karena gueh lagi beres-beres, gueh males ngangkat telponnya. Adik kos gueh sengaja gueh suruh ngangkat telponnya, dan adik kos gueh bilang kalau gueh lagi males sama dia. Iya memang, gueh lagi males, males karena faktor-faktor tadi. Terus dia kayak e nutup telponnya.
            Esoknya gueh mencoba untuk memaafkannya, dan berusaha untuk bicara baik-baik. Tapi dia yang berubah jutek. Hahaha. Rasain. Tapi kalau dia jutek gueh juga yang bingung.
            Hari ini adalah hari terakhir di tahun ini, entah apa yang akan terjadi di malam nanti, akankah pacar gueh surprise datang ke kos dan ngajakin gueh tahun barunan, ataukah ia bener-bener berdiam diri di kos, dan ngga ada usaha ngajakin gueh tahun barunan. Hahaha. Terus gueh gimana dong? Apa iya gueh tahun baru kali ini anggap saja ngga punya pacar? Tapi kan gueh punya pacar!!!