Jumat, 07 Agustus 2020

Kalau

 

Kalau saja bisa kuputar waktu, takkan kuucapkan kata-kata itu. Menyesal? Ya, aku menyesal. Babe sedang terbaring di kursi goyangnya. Ia larut dengan kenikmatan kopi petet kental. Decitan kayu jati begitu cantik mengiringi. Babe masih gemar menyembunyikan rasa sakitnya itu pada kami. Bahkan nyaris tidak boleh tahu bahwa Babe sedang lemah raganya. Ia berusaha untuk terlihat bugar di hadapan kami. Tak terbersit di pikiran, Babe sedang sakit parah. Bahkan bisa dikatakan sangat parah. Mamah yang sedari tadi mendampingi Babe, pun hanyut dalam aroma teh racikan. Senja itu, waktu yang pas bagi kami berkumpul. Kami di rumah tinggal berempat. Itupun jika aku sedang libur kuliah. Sedangkan adikku berangkat sekolah pagi, dan pulang petang karena les belajar tambahan. Kakakku sudah berumah. Terdengar suara motor sedang parkir di garasi. Oh, adikku pulang. Tumben pulangnya masih terang. Kedatangannya membuyarkan suasana santai kita. Ia menyelinap begitu saja. Langsung duduk di ayunan kaki kursi goyang Babe. Momen seperti ini dikategorikan langka. Mamah meneguk tehnya dan meletakkan cangkirnya sambil berkata, “Nanti kalau menikah, tidak usah jauh-jauh.” “Ahhh, gapapa, Nduk. Wong jodo kuwi kan gak ngerti.” Jawab Babe. “Nanti kita tidak ada yang mengurus pas sudah tua.” Mamah menimpali perkataan Babe. “Ya, nggak, Mah. Pas nanti aku sudah menikah, Mamah sama aku saja.” Selaku. Adikku gak terima dengan ucapanku. “Oh, gak bisa, Mamah ikut di rumahku!”  “Gak bisa, pokoknya Mamah ikut denganku,” pintaku. “Pokoknya Mamah ikut denganku, nanti Mamah tak sejahterakan, tinggal makan dan tidur saja.” Tambahan adikku. Kusanggah perkataan adikku. “Alaaaah, masa sih? Kamu gak bisa masak, kan? Nanti jangan-jangan Mamah disuruh masakin terus. Gak ah. Mamah ikut denganku saja nanti kalau aku sudah menikah.” “Pokok e Mamah sama aku saja. Ya, kan, Mah?” adikku merengek. “Mamah ikut siapa saja, bisa, gak usah rebutan” kata Mamah tegas. “Terus aku ikut siapa?” ucap Babe lirih. Deg. Kita diam. Ucapan Babe memang lirih, tapi mampu menghentikan perdebatan kita sore itu. Apa ada yang salah dari ucapan kita tadi ya? Dalam diamnya saat perdebatan kami tadi, Babe berusaha untuk menahan sesuatu yang kita tidak perlu tahu. Pikiranku kemana-mana: apa iya Babe memikirkan, kenapa yang diperebutkan hanya Mamah, tidak dengan Babe? Ahhhh, itu hanya pikirku saja.  Aku berusaha memutar ulang pembicaraan yang mampu membuat Babe berkata demikian. Kita tidak sadar bahwa di antara kami ada dua insan yang harus sama-sama dimuliakan. Babe yang sedari tadi memperhatikan kami, lesu berkata. Kami tidak sadar, kami tidak paham sampai demikian. Kita terdiam lama. Bahkan lama sekali. Akhirnya kuberanikan diri, “Jika Mamah ikut denganku, ya pasti Babe juga ikut denganku.” Pun adikku yang mencoba menenangkan, “Yaiya, sama lah, Beh. Kalau Mamah denganku, pastinya Babe juga ikut denganku juga kan.” Helaan napas ini terdengar serentak. Ada kelegaan tersendiri. Tapi bagi Babe mungkin tidak lega saat itu. Ada yang masih mengganjal. Entah. Entah apa yang harus aku katakan lagi selain Maaf. Maaf yang mungkin terlambat. Maaf yang mungkin tidak guna. Maaf beribu maaf. Tapi untuk apa? Babe kini sudah tidak bersama kami. Tidak dengan Mamah. Tidak denganku. Juga tidak dengan adikku. Merasa bersalah. Bersalah. Sungguh bersalah. Maafkan kami, Beh. Hanya itu yang bisa kulakukan, saat terngiang peristiwa itu. Babeku telah tenang di surga-Nya. Maafkan kami, Beh. Maafkan. Kita salah.

♫♫♫Kalau sudah tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa: kehilangan dia, sungguh berat aku rasa: hidup tanpa dia ♫♫♫

Tidak ada komentar:

Posting Komentar