Kalau saja bisa kuputar waktu, takkan kuucapkan kata-kata
itu. Menyesal? Ya, aku menyesal. Babe sedang terbaring di kursi goyangnya. Ia
larut dengan kenikmatan kopi petet
kental. Decitan kayu jati begitu cantik mengiringi. Babe masih gemar
menyembunyikan rasa sakitnya itu pada kami. Bahkan nyaris tidak boleh tahu
bahwa Babe sedang lemah raganya. Ia berusaha untuk terlihat bugar di hadapan
kami. Tak terbersit di pikiran, Babe sedang sakit parah. Bahkan bisa dikatakan
sangat parah. Mamah yang sedari tadi mendampingi Babe, pun hanyut dalam aroma
teh racikan. Senja itu, waktu yang pas bagi kami berkumpul. Kami di rumah
tinggal berempat. Itupun jika aku sedang libur kuliah. Sedangkan adikku
berangkat sekolah pagi, dan pulang petang karena les belajar tambahan. Kakakku
sudah berumah. Terdengar suara motor sedang parkir di garasi. Oh, adikku
pulang. Tumben pulangnya masih terang. Kedatangannya membuyarkan suasana santai
kita. Ia menyelinap begitu saja. Langsung duduk di ayunan kaki kursi goyang
Babe. Momen seperti ini dikategorikan langka. Mamah meneguk tehnya dan
meletakkan cangkirnya sambil berkata, “Nanti kalau menikah, tidak usah
jauh-jauh.” “Ahhh, gapapa, Nduk. Wong
jodo kuwi kan gak ngerti.” Jawab Babe. “Nanti kita tidak ada yang mengurus
pas sudah tua.” Mamah menimpali perkataan Babe. “Ya, nggak, Mah. Pas nanti aku
sudah menikah, Mamah sama aku saja.” Selaku. Adikku gak terima dengan ucapanku.
“Oh, gak bisa, Mamah ikut di rumahku!” “Gak
bisa, pokoknya Mamah ikut denganku,” pintaku. “Pokoknya Mamah ikut denganku,
nanti Mamah tak sejahterakan, tinggal makan dan tidur saja.” Tambahan adikku.
Kusanggah perkataan adikku. “Alaaaah, masa sih? Kamu gak bisa masak, kan? Nanti
jangan-jangan Mamah disuruh masakin terus. Gak ah. Mamah ikut denganku saja
nanti kalau aku sudah menikah.” “Pokok e Mamah sama aku saja. Ya, kan, Mah?”
adikku merengek. “Mamah ikut siapa saja, bisa, gak usah rebutan” kata Mamah
tegas. “Terus aku ikut siapa?” ucap Babe lirih. Deg. Kita diam. Ucapan Babe
memang lirih, tapi mampu menghentikan perdebatan kita sore itu. Apa ada yang
salah dari ucapan kita tadi ya? Dalam diamnya saat perdebatan kami tadi, Babe
berusaha untuk menahan sesuatu yang kita tidak perlu tahu. Pikiranku
kemana-mana: apa iya Babe memikirkan, kenapa yang diperebutkan hanya Mamah,
tidak dengan Babe? Ahhhh, itu hanya pikirku saja. Aku berusaha memutar ulang pembicaraan yang
mampu membuat Babe berkata demikian. Kita tidak sadar bahwa di antara kami ada
dua insan yang harus sama-sama dimuliakan. Babe yang sedari tadi memperhatikan
kami, lesu berkata. Kami tidak sadar, kami tidak paham sampai demikian. Kita
terdiam lama. Bahkan lama sekali. Akhirnya kuberanikan diri, “Jika Mamah ikut
denganku, ya pasti Babe juga ikut denganku.” Pun adikku yang mencoba
menenangkan, “Yaiya, sama lah, Beh. Kalau Mamah denganku, pastinya Babe juga
ikut denganku juga kan.” Helaan napas ini terdengar serentak. Ada kelegaan
tersendiri. Tapi bagi Babe mungkin tidak lega saat itu. Ada yang masih
mengganjal. Entah. Entah apa yang harus aku katakan lagi selain Maaf. Maaf yang
mungkin terlambat. Maaf yang mungkin tidak guna. Maaf beribu maaf. Tapi untuk
apa? Babe kini sudah tidak bersama kami. Tidak dengan Mamah. Tidak denganku.
Juga tidak dengan adikku. Merasa bersalah. Bersalah. Sungguh bersalah. Maafkan
kami, Beh. Hanya itu yang bisa kulakukan, saat terngiang peristiwa itu. Babeku
telah tenang di surga-Nya. Maafkan kami, Beh. Maafkan. Kita salah.
♫♫♫Kalau sudah
tiada baru terasa, bahwa kehadirannya sungguh berharga. Sungguh berat aku rasa:
kehilangan dia, sungguh berat aku rasa: hidup tanpa dia ♫♫♫
Tidak ada komentar:
Posting Komentar